letak dua tempat ibadah yang berdekatan membuktikan bahwa

DiGang Ruhana ada 3 tempat ibadah yang berdekatan, yakni Masjid Al-Amanah yang berdiri sejak 2015, Wihara Girimetta yang sudah ada sejak 1946, dan Gereja Pantekosta yang dibangun pada 1933. Baca Juga: Semak Belukar Jadi Objek Wisata Viral. Apabila ada momen besar seperti natal, warga muslim dan hindu ikut membantu mempersiapkan segala Suasananyayang tenang pun mampu mendamaikan hati ini.Dalam perjalanan dari Nusa Dua menuju ke Uluwatu, saya melihat sesuatu yang unik. Nama tempat tersebut ialah Pusat Peribadatan Puja Mandala. Ada 5 bangunan di sini. Masing-masing bangunan dalam lokasi tersebut merupakan tempat ibadah umat Islam, Katholik, Protestan, Buddha, dan Hindu. 1. Sepertipembakaran tempat ibadah dan aksi kekerasan lainnya yang bermotif agama. Warga di desa itu mengaku mengetahui semua kejadian itu. Mereka lalu membahas konflik yang terjadi di luar itu dan berupaya untuk mencegahnya supaya tidak terjadi di desa tersebut. "Kami tahu. Tapi itu terjadi di sana, jangan sampai terjadi di sini," kata Ahmad Ciamis-. Bupati Ciamis Herdiat Sunarya meresmikan Kampung Lebak, Kelurahan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, sebagai Kampung Kerukunan, Kamis (21/4/2022). Di kampung ini terdapat empat rumah ibadah yang saling berdampingan. Keempatnya yaitu Masjid Jami Al Muhajidin, Gereja Katolik Santo Yohanes, Kelenteng Hok Tek Bio, dan Litang Khonghucu. SURABAYA- Salah satu lokasi di Surabaya yang masih lumayan ramai pengunjung selama pandemi ini adalah 6 tempat ibadah berjejer yang berada di Perumahan elite Royal Residence, Kota Surabaya. 6 tempat ibadah berjejer ini sudah diresmikan menjadi tempat ibadah yang saling berdekatan tanpa sekat.. Tempat ibadah satu ini sangat terkenal bahkan ke daerah-daerah di luar Kota Surabaya. Who Is Renee Zellweger Dating Now. Gereja dan masjid di DiyarbakiFoto DWSuatu saat seorang pejabat pemerintah Tiongkok Republik Rakyat Cina mendengar kabar bahwa ada pengurus majelis sebuah agama di negaranya yang membangun sebuah rumah ibadah yang sangat megah, indah, dan elok. Mungkin lantaran tidak berkenan, sang pejabat tadi menemui pengurus majelis yang kaya-kaya itu dan mengajak mereka keliling jalan-jalan melihat pemukiman penduduk di sekitar rumah ibadah tersebut. Oleh pejabat tadi, mereka diajak blusukan masuk ke dalam kompleks perkampungan melewati gang-gang sempit, lorong-lorong kumuh, dan rumah-rumah penduduk yang kusam dan saling berhimpitan. Tak pelak, bau busuk sampah dan got mampet pun menyengat hidung. Sang pejabat kemudian mengajak pengurus majelis masuk ke sebuah rumah reot nan kumuh. Mereka pun kaget terperangah melihat keadaan rumah itu berlantai tanah, kotor, bau pengap, penerangan ala kadarnya, dan barang-barang berserakan di segala sudut ruangan. Sebuah meja makan kecil dipenuhi piring kotor. Lauk dan sisa-sisa makanan berceceran di samping sebuah keranjang berisi seekor kucing tua yang sedang tiduran. Seorang ibu dan anaknya juga terlihat tidur di atas tikar kumal dengan “ditemani” lalat-lalat yang beterbangan di sekitarnya. Sang pejabat menoleh ke arah pengurus majelis yang masih terperangah dan ternganga seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan mata. Sejurus kemudian sang pejabat pun bertanya kepada mereka “Apakah menurut kalian,Tuhan lebih suka melihat rumah-Nya dibangun dengan super mewah atau rumah hamba-hamba-Nya dibangun dengan agak layak, baik, dan sehat?" Pengurus majelis pun tak bersuara. Diam membisu. Penulis Sumanto al Qurtuby Foto S. al Qurtuby Berjubelnya Tempat-tempat Ibadah Penggalan kisah ini saya dapatkan dari sahabat karibku, Harjanto Halim, seorang pengusaha Tionghoa yang dermawan, filantropis, dan gemar membangun persaudaraan universal dengan berbagai kelompok etnis dan agama. Peristiwa pendirian tempat-tempat ibadah megah di tengah kompleks pemukiman kumuh dan kemelaratan warga bukan hanya terjadi di Cina saja tetapi juga di negara-negara lain di dunia ini, termasuk Indonesia. Di Indonesia kita sering menyaksikan berbagai bangunan tempat ibadah masjid, gereja, kuil, dlsb yang sangat megah dan indah. Berbagai kelompok agama seolah berlomba-lomba membangun tempat ibadah yang megah. Berbagai ormas dan kelompok Islam berlomba-lomba membangun masjid mewah. Berbagai denominasi Kristen berlomba-lomba membangun gereja yang megah. Begitupun umat agama lain. Oleh umat beragama, khususnya kelompok elitenya, berdirinya tempat-tempat ibadah itu dijadikan sebagai ukuran, tanda, atau simbol kesuksesan beragama dan peningkatan iman kepada Tuhan. Para “juru bicara” dan “wakil” Tuhan di dunia ulama, klerik, pastor, pendeta, pandita, atau apapun namanya giat mendakwahkan atau mewartakan dan bahkan memobilisir umat mereka masing-masing untuk beribadah, bersedekah, berderma, dan beramal saleh membangun tempat ibadah yang mereka sebut sebagai “rumah Tuhan”. Pembangunan tempat ibadah tidak cukup satu atau dua tetapi kalau bisa sebanyak mungkin. Saya–mungkin juga Anda–sering menyaksikan sebuah desa atau kompleks perumahan yang memiliki banyak masjid dan musala langgar. Padahal masjid atau musala tersebut sering atau bahkan selalu kosong. Hanya beberapa gelintir saja yang salat. Masjid ramai kalau Jumat saja untuk salat Jumat. Di kompleks tempat tinggalku, di sebuah daerah di Semarang, juga terdapat setidaknya empat masjid besar yang letaknya berdekatan belum lagi ditambah musala. Keempat masjid tersebut dikenal dengan sebutan masjid Muhammadiyah, masjid NU, masjid LDII, dan masjid nasionalis. Di kampung kelahiranku yang kecil-mungil di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, juga terdapat satu masjid besar dan empat musala. Bukan hanya umat Islam saja. Umat agama lain juga sama. Umat Kristen misalnya juga berlomba-lomba membangun gereja. Masing-masing denominasi dan kongregasi bersemangat mendirikan gereja, bila perlu yang megah, untuk kelompok Kristen mereka masing-masing. Mereka tidak mau kalah dengan kelompok Kristen dari gereja-gereja lain. Pembangunan “Rumah Tuhan” itu Tidak Penting? Pembangunan atau pendirian rumah ibadah oleh pemeluk agama sebagai tempat melakukan aktivitas ritual-keagamaan tentu saja hal yang sangat wajar. Dari masyarakat suku yang tinggal di daerah pelosok terpencil hingga masyarakat modern di kota-kota metropolitan memiliki tempat-tempat ibadah, bagi yang beragama tentunya. Manusia bukan hanya “makhluk ekonomi” economic man atau “makhluk politik” political man tetapi juga “makhluk spiritual” spiritual man. Pembangunan tempat-tempat ibadah itu dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan religi-spiritual umat manusia itu. Tetapi, jika umat beragama terus-menerus membangun tempat ibadah secara berlebihan tentu saja tidak wajar dan tidak bisa dibenarkan. Apalagi membangun tempat-tempat ibadah yang megah atau bahkan supermegah yang indah di tengah kemiskinan warga dan sesaknya ekonomi umat tentu saja sangat dan lebih tidak wajar dan tidak dibenarkan lagi, dan oleh karena itu pandangan dan pemikiran seperti ini perlu dikaji ulang, dipikir lagi, dan direnungkan kembali. Daripada untuk mendirikan “rumah Tuhan” yang megah, uang atau harta, benda tersebut akan lebih bermanfaat dan berdaya guna jika dipakai untuk membangun sarana-prasarana yang bisa membantu mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, tempat tinggal; kesehatan; pendidikan; air bersih; dlsb. Lagi pula, apakah benar pembangunan tempat-tempat ibadah yang mentereng itu “dihadiahkan” kepada Tuhan? Dengan kata lain, betulkah tempat-tempat ibadah megah itu sebagai “rumah” Tuhan? Jangan-jangan pembangunan tempat-tempat ibadah yang megah itu bukan untuk “rumah” atau “kediaman” Tuhan, melainkan untuk rumah/kediaman para “wakil”-Nya atau “penyambung lidah”-Nya? Mereka hanya memakai Tuhan untuk dalih, stempel, dan atas nama saja. Tuhan yang “Maha Kaya” tentu saja tak perlu dibuatkan rumah megah oleh hamba-hamba-Nya yang jelata yang setiap saat berdoa dan meminta belas kasihan kepada-Nya. Selamat berefleksi. Penulis Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, Ia memperoleh gelar doktor PhD dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia London Routledge, 2016 dan Saudi Arabia and Indonesian Networks Migration, Education and Islam London & New York Tauris & Bloomsbury. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini. Meski berbeda, banyak masjid dan gereja dibangun berdampingan di dunia ini. Namun, saat ini di media massa banyak dipertontonkan pemandangan dua agama yang saling berseteru. Bahkan jika menilik lebih dalam ke situs-situs keagamaan di dunia maya banyak diisi oleh perang cacian antar pemeluk agama. Hal ini sangat miris mengingat masing-masing agama sebenarnya mengajarkan nilai-nilai toleransi pada pemeluk agama lain. Terlepas dari berbagai masalah yang melibatkan agama, ternyata di luar sana ada daerah-daerah yang memiliki sifat toleransi agama yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan masjid sebagai tempat ibadah umat Islam yang berdampingan dengan gereja, tempat ibadah orang Kristen dan Katolik. Melihat hal tersebut membuat hati menjadi damai, berikut masjid-masjid yang berdampingan dengan gereja. 1. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral – Jakarta, Indonesia Ada pemandangan menarik ketika melintasi Jalan Medan Merdeka, Jakarta yaitu dua buah bangunan megah yang menjadi tempat ibadah dua pemeluk agama yang berbeda yakni Islam dan Kristen. Adalah Masjid Istiqlal, masjid terbesar se-Asia Tenggara dan Gereja Katedral dibangun berdampingan dan hanya dipisahkan oleh Jalan Wijaya Kusuma. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Damn I Love Indonesia Kedua bangunan yang berdekatan ini terkenal sebagai simbol kerukunan beragama di Indonesia. Uniknya masjid Istiqlal sendiri diarsiteki oleh seorang penganut agama Kristen Protestan. Letaknya yang berada di dekat gereja juga atas inisiatif presiden Soekarno. Tujuannya sebagai lambang semangat persaudaraan, persatuan dan toleransi beragama sesuai Pancasila. 2. Masjid Agung Jami’ dan GPIB Immanuel – Malang, Indonesia Masih di Indonesia tepatnya di jantung kota Malang juga terdapat dua tempat ibadah beda agama yang dibangun berdampingan, yaitu masjid Agung Jami’ dan GPIB Immanuel. Dua tempat ibadah ini telah berdampingan selama lebih dari 100 tahun dan menjadi bukti bahwa warga kota Malang telah memiliki toleransi beragama yang tinggi jauh sebelum Indonesia merdeka. Masjid Agung Jami’ dan GPIB Immanuel Hipwee Anda yang sedang jalan-jalan di kota Malang, Anda bisa menjumpai dua tempat ibadah ini di depan alun-alun kota. Masjid Agung Jami’ dibangun pada tahun 1875 sedangkan Gereja datang dari tahun 1861. Uniknya selama ratusan tahun berdampingan tidak pernah ada percekcokan di antara kedua pemeluk agama ini. Sungguh damai bukan melihat keadaan yang demikian? 3. Mohammed El Amin Mosque dan St. George Maronite Cathedral – Beirut, Lebanon Pemandangan masjid yang bersanding dengan gereja tidak hanya dijumpai di Indonesia saja. Di luar negeri juga terdapat beberapa masjid yang dibangun tepat disebelah gereja, salah satunya ada di kota Beirut, Lebanon. Di pusat kota terbesar Lebanon ini ada masjid Mohammed El Amin dan gereja Katedral St. George Maronite yang dibangun berdampingan. masjid Mohammed El Amin dan gereja Katedral St. George Maronite Via Maralasky WordPress Menariknya, beberapa waktu lalu menara gereja dibangun dan disesuaikan dengan ketinggian menara masjid. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi kecemburuan sosial di antara masing-masing pemeluk agama. Hal unik lainnya adalah bahwa setiap waktu shalat tiba, di kawasan tersebut sangat lumrah mendengan suara adzan yang dibarengi suara lonceng dari gereja. 4. Masjid Besar Amru bin Ash, Gereja dan Sinagog Yahudi – Kairo, Mesir Jika dalam daftar sebelumnya hanya masjid dan gereja saja yang berdampingan maka di Kairo, Mesir terdapat tiga tempat ibadah dari tiga agama yang berbeda. Agama-agama tersebut adalah Islam, Kristen dan Yahudi. Di dekat Masjid Besar Amru bin Ash terdapat bangunan Gereja tua serta Sinagog Yahudi. Masjid Besar Amru bin Ash, Gereja dan Sinagog Yahudi Edtrayes Bangunan-bangunan tersebut sudah berumur sangat tua, bahkan masjidnya telah berusia tahun. Masjid Besar Amru bin Ash dibangun di dekat bekas benteng Romawi yang kini didirikan Gereja Babylon, pusat perkembangan Kristen Koptik di Mesir. Di bawah tanah kawasan Kairo lama ini juga ditemukan Sinagog, tempat ibadah orang Yahudi. Selama ini masing-masing pemeluk agama tidak pernah bertikai, mereka menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan damai. 5. King Abdullah I Mosque dan Gereja Ortodok Yunani St. Mary – Amman, Yordania Daftar terakhir masjid yang berdampingan dengan gereja berasal dari negara Yordania. Tepat di pusat kota Amman, Yordania traveler bisa menemukan masjid Raja Abdullah I dan Gereja Ortodok Yunani St. Mary yang dibangun berdampingan King Abdullah I Mosque dan Gereja Ortodok Yunani St. Mary the muslim times Masjid megah yang kubahnya didominasi warna biru ini dibangun sekitar tahun 1980-an. Uniknya di belakang masjid ini terdapat sebuah gereja dan kedua bangunan ini telah ada berdampingan sejak zaman dahulu. Inilah simbol toleransi beragama di negara tersebut. Banyak masjid-masjid yang dibangun berdampingan dengan gereja di beberapa negara. Hal ini membuktikan bahwa sifat toleransi beragama masih bisa dijumpai di dunia ini. Terasa damai di hati bukan bila melihat pemandangan penuh toleransi ini? Jakarta - Memiliki waktu libur hanya sehari dapat dimanfaatkan dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang unik. Misalnya, wisata religi di kota Jakarta, misalnya, terdapat beberapa tempat ibadah bersejarah yang jaraknya berdekatan. Yaitu Gereja Imanuel, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, Klenteng Sin Tek Bio, dan Kuil yang dikeluarkan pun cukup murah, Anda hanya perlu memberikan sumbangan secara sukarela di setiap rumah ibadah Gereja ImmanuelUntuk memulai perjalanan, Gereja Immanuel dapat menjadi pemberhentian pertama, letaknya sangat dekat dengan Stasiun Gambir. Jika Anda berkunjung pada hari Minggu pukul Anda dapat menemukan keunikan dengan mendengar penggunaan Bahasa Belanda dalam ibadah yang dibangun tahun 1835 dan diresmikan pada 1839 ini termasuk salah satu gereja tertua di Gereja KatedralGereja Katedral merupakan rumah ibadah bagi umat Katolik yang berada di Jalan Katedral. Anda dapat berjalan kaki beberapa ratus meter dari Gereja Imanuel atau menggunakan moda transportasi. Akses masuknya cukup mudah karena memang banyak pelancong yang sungkan jika Anda menggunakan atribut keagamaan seperti jilbab. Bangunan yang megah dan arsitektur dengan gaya neo-gotik Eropa sayang untuk Masjid IstqilalIklan Masjid Istiqlal terletak di seberang Gereja Katedral. Masjid ini dibangun pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Letak masjid yang berdekatan dengan Gereja Imanuel dan Gereja Katedral ini bukan tanpa alasan, hal ini merupakan cerminan semangat bhineka tunggal ika para pendiri terbesar ketiga di dunia ini bisa menampung sekitar 200 ribu orang. Selain memiliki simbol-simbol agama, masjid ini juga memilik makna-makna sejarah Indonesia pada Klenteng Sin Tek BioKlenteng Sin Tek Bio atau Klenteng Kwan Im Bio beraliran Konghucu-Buddha, berada di tengah Pasar Baru. Untuk menemukannya jangan sungkan bertanya kepada warga sekitar. Keunikan yang dapat Anda temui di dalamnya adalah terdapat makam seorang baba’ yaitu etnis Cina yang menikah dengan etnis banyak sekali simbol dan patung Sun Go kong dan Dewi Kwan Im, lilin-lilin berukuran besar yang terus menyala menghangatkan suasana dalam Sikh TempleSikh Temple atau Kuil Sikh merupakan tempat ibadah beraliran Sikh’ yang berkembang pesat di India Utara. Uniknya, setiap hari kuil ini menyediakan makanan gratis untuk umum. Anda bisa mencicipi makanan khas India dan teh tarik secara cuma-cuma jika datang di pagi untuk memasuki kuil ini adalah wajib menggunakan penutup kepala, pihak kuil menyediakan penutup kepala bagi yang tidak QURANI MAGANG - Masjid Istiqlal berdampingan dengan gereja Katedral. Siapa sangka, ada kisah menarik soal pemilihan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal yang berdampingan dengan Gereja Katedral di Jakarta. Sebagian orang mungkin menangkap kesan bahwa dua ikon tempat ibadah tersebut adalah contoh paling mudah untuk menggambarkan toleransi beragama di Indonesia. Namun, kisah di balik hal ini ternyata tidak sesederhana itu. Ide membangun Masjid Istiqlal sebagai masjid nasional sudah muncul sejak tahun 1950 atau tidak lama setelah pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia. Namun, usul ini baru diajukan kepada Presiden Sukarno pada Karno menyambut baik usulan tersebut. Tapi, urusan tak lantas selesai sampai di situ. Pemilihan lokasi pembangunan masjid sempat memantik silang pendapat antara Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad dari buku berjudul Friedrich Silaban 2017 karya Setiadi Sapandi, Hatta menyarankan agar Masjid Istiqlal didirikan di lokasi yang saat ini menjadi tempat berdirinya Hotel Indonesia atau di Jalan Thamrin sekarang. Pertimbangannya, lokasi tersebut berada di lingkungan muslim dan tersedia lahan yang cukup kurang setuju jika masjid nasional itu dibangun di kawasan Pasar Baru lantaran lokasi tersebut banyak terdapat bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda. Hatta, tulis Sapandi, beralasan “akan mahal karena harus membongkar bekas benteng” apabila Masjid Istiqlal didirikan di lokasi tersebut. Di sisi lain, Sukarno tetap menghendaki agar pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan di dekat sekitar Pasar Baru, tepatnya di Taman Wilhelmina dan dekat benteng kuno Belanda. Seperti yang dikhawatirkan Hatta, anggaran untuk membangun masjid di tempat itu pasti amat besar. Namun, presiden tetap Bung Karno, masjid nasional harus berdekatan dengan bangunan simbol negara lainnya, seperti Istana Negara. Terlebih lagi, di sekitar lokasi itu berdiri Gereja Katedral. Disebutkan dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1972 terbitan Majelis Agung Waligereja Indonesia, pendirian gereja bersejarah ini sudah dilakukan sejak 1892 dan diresmikan pada 21 April Soekarno Masjid Istiqlal Berdampingan dengan Gereja Katedral Sukarno tampaknya ingin menyampaikan pesan bahwa bangsa ini memiliki semangat persatuan dan toleransi beragama yang sangat kuat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Itulah alasan utama mengapa sang presiden menginginkan Masjid Istiqlal harus dibangun dekat dengan Gereja Katedral yang menjadi pusat kegiatan umat Kristiani di yang terpilih sebagai arsitek pembangunan Masjid Istiqlal bernama Fredrerich Silaban, seorang pemeluk Nasrani dan anak pendeta Kristen Protestan di tanah Batak, Sumatera Utara. Pemilihan ini dilakukan setelah digelar suatu sayembara. Namun, proses pembangunan masjid nasional berjalan lambat karena banyaknya persoalan yang harus dihadapi negara pada saat itu, terutama persoalan-persoalan politik yang berujung pada terjadinya peristiwa Gerakan 30 September G30S 1965. Masjid Istiqlal akhirnya selesai dibangun pada 1961. Saat itu, pengaruh Sukarno sudah meluruh, digantikan oleh Soeharto dengan Orde Barunya. Namun, masjid ini baru diresmikan pada 22 Februari 1978 oleh Presiden Masjid Istiqlal Masjid Istiqlal berlokasi di bekas Taman Wilhelmina, di timur laut lapangan Medan Merdeka yang ditengahnya berdiri Monumen Nasional Monas.Di seberang timur masjid ini berdiri Gereja Katedral Jakarta, ini juga sebagai simbol toleransi antaragama karena lokasinya berseberangan dengan utama masjid ini terdiri dari lima lantai dan satu lantai dasar. Masjid Istiqlal memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja utama masjid dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter menjulang di sudut selatan selasar tampung Masjid Istiqlal bisa melebihi dari dua ratus ribu jamaah. - Sosial Budaya Penulis Oryza AditamaEditor Iswara N RadityaPenyelaras Yulaika Ramadhani

letak dua tempat ibadah yang berdekatan membuktikan bahwa